Cari Blog Ini

Laman

Jumat, 28 September 2012

Krisis tempe atau mental tempe??


“Jangan jadi orang bermental tempe!!” ungkapan itulah yang sering kita dengar. Ungkapan ini menimbulkan banyak penafsiran. Karena jujur, saya juga belum paham benar dengan apa yang disebut mental tempe. Mungkin falsafah tempe yang berasal dari kedelai, artinya jangan jadi orang yang isuk dele sore tempe atau singkatnya orang yang plin-plan. Tapi kenapa tempe yang harus dipermasalahkan. Padahal kita semua tahu, tempe adalah salah satu makanan ‘pokok’ rakyat indonesia. Dalam jenis masakan apapun, pasti ada bahan dasar berupa tempe. Dan ketika akhir-akhir ini ancaman para perajin tahu tempe untuk mogok dan berhenti melakukan produksi selama beberapa hari, jelas menimbulkan kegalauan. Terutama bagi penggemar tempe seperti saya, dan sebagian rakyat indonesia tentunya, yang menggantungkan harapan gizinya pada tempe dan tahu. Jika di bulan ramadhan ini, harga daging yang merupakan sumber protein hewani sudah melambung terlampau tinggi hingga tak terbeli, lantas bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi jika harga tempe juga mengekor naik. Padahal kita tahu, tempe adalah alternatif pemenuhan gizi berupa protein yang paling terjangkau harganya. Meningkatnya harga kedelai memang menjadi pemicu utama persoalan tersebut. Dari data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi dan Kementerian Perindustrian RI, harga kedelai meningkat secara kontinyu sejak dari Bulan Januari-Juli 2012. Pada bulan Januari harga kedelai per kilogram masih Rp 5.571 namun pada awal Bulan Juli sudah mencapai Rp 7.400. Bahkan di pasaran harga kedelai saat ini sudah mencapai Rp 8.000 – Rp 8.500.
Kenaikan harga kedelai  saat ini sebenarnya menjadi bukti bagaimana rapuhnya ketahanan pangan  khususnya produk kedelai di dalam negeri. Anomali cuaca yang terjadi di Amerika Latin seperti di Argentina dan Brazil telah memicu indeks kedelai dunia meningkat tajam dan akhirnya berimbas kepada harga kedelai di dalam negeri yang melambung cukup tinggi. Ketergantungan impor kedelai Indonesia dari luar negeri  dan ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan stok produksi dalam negeri menyebakan harga kedelai  meningkat cukup tajam. Sebagai catatan, pada tahun 2011 dari kebutuhan kedelai nasional sebesar 2,2 juta ton, 1,6 juta ton berasal dari impor luar negeri. Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) tahu dan tempe sejak lama menyimpan masalah laten yaitu ketergantungan bahan baku terhadap kedelai impor. Hal ini sebenarnya ironis mengingat tahu dan tempe sering disebut makanan asli Indonesia, tetapi bahan bakunya justru diimpor dari AS. Dan inilah yang menjadi pertanyaan bagi kita, bagaimana bisa, sebuah negara agraris dengan basis pertanian yang luar biasa, untuk membuat tempe saja harus bergantung pada impor kedelai. Lantas untuk apa lahan luas serta potensi pertanian yang unggul itu diaplikasikan.
“Semua pihak yang memiliki andil untuk bisa mengupayakan agar tidak terjadi kelangkaan di sektor kedelai,” kata Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha kepada para wartawan di depan Istana Negara, Jakarta, Selasa (24/7/2012). Sebagaimana dikutip kompas.com. Jadi, dapat dikatakan bahwa krisis kedelai merupakan masalah nasional. Sangat mungkin, harga kedelai  ini akan  terus naik  jika tidak ada langkah cepat yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam jangka pendek, memang tidak ada kata lain ketika pemerintah harus melakukan intervensi pasar dengan melakukan berbagai cara misalnya dengan melakukan pengurangan atau pembebebasan bea impor masuk kedelai, perbaikan tata niaga kedelai dengan melakukan operasi gudang-gudang penimbunan kedelai, permainan harga  dan sebagainya. Strategi tersebut harus  ditempuh agar harga kedelai tersebut dapat normal kembali di pasaran dan pelaku usaha dapat memproduksi kembali usaha mereka. Asalkan bukan solusi yang isuk dele sore tempe, dirasa sudah cukup efektif untuk menyelamatkan krisis pertempean di negeri ini. Berdasarkan paparan ini kita bisa melihat bahwa krisis tahu tempe, makanan yang sering dianggap sepele ternyata solusinya tidak sepele. Selain itu, solusi masalah ini akan menyelesaikan permasalahan lain di dalam sektor pertanian maupun industri secara umum di Indonesia. Dan yang terpenting adalah mengatasi tantangan , “masa tempe saja masih bergantung pada Amerika”.
Sumber : kompas.com (24 Juli 2012)
                Solopos.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar